Dosen : DR Mudjiyono
Suma'iyah
S830208021/IPA/Psains
BAB I
PENDAHULUAN
Obat ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup, maka farmakologi merupakan ilmu yang luas cakupannya. Namun untuk seorang dokter, ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat untuk maksud pencegahan, diagnosis dan pengobatan penyakit. Selain itu, agar mengerti bahwa penggunaan obat dapat mengakibatkan berbagai gejala penyakit.
Farmakologi mencakup pengetahuan tentang sejarah, sumber, sifat kimia dan fisik, komposisi, efek fisiologi dan biokimia, mekanisme kerja, absorpsi, distribusi, biotransformasi ekskresi dan penggunaan obat. Namun dengan berkembangnya pengetahuan, beberapa bidang ilmu tersebut telah berkembang menjadi cabang ilmu tersendiri, misal :
1. Farmakognosi, ialah cabang ilmu farmakologi yang mempelajari sifat-sifat tumbuhan dan bahan lain yang merupakan sumber obat.
2. Farmasi ialah ilmu yang mempelajari cara membuat, memformulasikan, menyimpan dan menyediakan obat.
3. Farmakologi klinik ialah cabang farmakologi yang mempelajari efek obat pada manusia. Berbagai aspek dalam studi obat pada manusia tercakup dalam cabang ilmu ini dengan tujuan mendapatkan dasar ilmiah untuk penggunaan obat. Untuk mempelajari pengaruh obat pada manusia, obat dicobakan dulu pada hewan dan dipelajari efeknya dalam farmakologi eksperimental.
4. Farmakokinetik ialah aspek farmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresinya.
5. Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia berbagai organ tubuh serta mekanisme kerjanya.
6. Farmakoterapi ialah cabang ilmu yang berhubungan dengan penggunaan obat dalam pencegahan dan pengobatan penyakit.
7. Toksikologi ialah ilmu yang mempelajari keracunan zat kimia.
Dehidrasi dan gangguan kemodinamik dapat terjadi pada hemoragik akut / stroke iskemik. Selain itu dehidrasi sering terjadi pada pasien diare, DBD, dan luka bakar. Untuk menyeimbangkan cairan dalam tubuh pasien maka diperlukan infus atau cairan pengganti cairan yang hilang (resusitasi).
Berbagai macam cairan yang dianggap sebagai terapi pendukung yang penting untuk pasien diatas adalah larutan / cairan normal saline, ringer asetat, ringer laktat, aminofluid dan larutan maintenance lain (KAEN 3B )
BAB II
LANDASAN TEORI
A. PEMBERIAN SECARA SUNTIKAN
Keuntungan pemberian obat secara suntikan (parenteral) ialah: (1) efeknya timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian per oral; (2) dapat diberikan pada penderita yang tidak kooperatif, tidak sadar, atau muntah-muntah; dan (3) sangat berguna dalam keadaan darurat. Kerugiannya ialah dibutuhkan cara asepsis, menyebabkan rasa nyeri, ada bahaya penularan hepatitis serum, sukar dilakukan sendiri oleh penderita, dan tidak ekonomis.
Pemberian intravena (IV) tidak mengalami tahap absorpsi, maka kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat, dan dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita. Larutan tertentu yang iritatif hanya dapat diberikan dengan cara ini karena dinding pembuluh darah relatif tidak sensitif dan bila disuntikkan perlahan-lahan, obat segera diencerkan oleh darah. Kerugiannya ialah efek toksik mudah terjadi karena kadar obat yang tinggi segera mencapai darah dan jaringan. Di samping itu, obat yang disuntikkan IV tidak dapat ditarik kembali. Obat dalam larutan minyak yang mengendapkan konstituen darah, dan yang menyebabkan hemolisis, tidak boleh diberikan dengan cara ini. Penyuntikan IV harus dilakukan perlahan-lahan sambil terus mengawasi respons penderita.
Suntikan subkutan (SK) hanya boleh digunakan untuk obat yang tidak menyebabkan iritasi jaringan. Absorpsi biasanya terjadi secara lambat dan konstan sehingga efeknya bertahan lama. Obat dalam bentuk suspensi diserap lebih lambat daripada dalam bentuk larutan. Pencampuran obat dengan vasokonstriktor juga akan memperlambat absorpsi obat tersebut. Obat dalam bentuk padat yang ditanamkan di bawah kulit dapat diabsorpsi selama beberapa minggu atau beberapa bulan.
3
Pada suntikan intramuskular (IM), kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan kelengkapan absorpsi. Obat yang sukar larut dalam air pada pH fisiologik misalnya digoksin, fenitoin, dan diazepam akan mengendap di tempat suntikan sehingga absorpsinya berjalan lambat, tidak lengkap, dan tidak teratur. Obat yang larut dalam air diserap cukup cepat, tergantung dari aliran darah di tempat suntikan. Absorpsi lebih cepat di deltoid atau vastus lateralis daripada di gluteus maksimus. Obat-obat dalam larutan minyak atau bentuksuspensi akan diabsorpsi dengan sangat lambat dan konstan (suntikan depot), misalnya penisilin. Obat yang terlalu iritatif untuk disuntikan secara SK kadang-kadang dapat diberikan secara IM.
Suntikan intratekal, yakni suntikan langsung ke dalam ruang subaraknoid spinal, dilakukan bila diinginkan efek obat yang cepat dan setempat pada selaput otak atau sumbu serebrospinal, seperti pada anestesia spinal atau pengobatan infeksi SSP yang akut.
Suntikan Intraperitoneal tidak dilakukan pada manusia karena bahaya infeksi dan adesi terlalu besar.
B. FARMAKOKINETIK
Obay yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini disebut proses farmakokinetik dan berjalan serentak seperti yang terlihat pada gambar 1.1.
Gambar 1-1. Berbagai proses farmakokinetik obat
Di tubuh manusia, obat harus menembus sawar (barrier) sel di berbagai jaringan. Pada umumnya obat melintasi lapisan sel ini dengan menembusnya, bukan dengan melewati celah antar sel, kecuali pada endotel kapiler. Karena itu peristiwa terpenting dalam proses farmakokinetik ialah transport lintas membran.
Membran sel terdiri dari dua lapis lemak yang membentuk fase hidrolik di kedua sisi membran dan fase hidrofobik diantaranya. Molekul-molekul protein yang tertanam di kedua sisi membran atau menembus membran berupa mozaik pada membran. Molekul-molekul protein ini membentuk kanal hidrofilik untuk transfort air dan molekul kecil lainnya yang larut dalam air.
Cara-cara transport obat lintas membran yang terpenting ialah difusi pasif dan transport aktif; yang terakhir melibatkan komponen-komponen membran sel dan membutuhkan energi. Sifat fisiko-kimia obat yang menentukan cara transport ialah bentuk dan ukuran molekul, kelarutan dalam air, derajat ionisasi dan kelarutan dalam lemak.
Umumnya absorpsi dan distribusi obat terjadi secara difusi pasif. Mula-mula obat harus berada dalam larutan air pada permukaan membran sel, kemudian molekul obat akan melintasi membran dengan melarut dalam lemak membran. Pada proses ini, obat bergerak dari sisi yang kadarnya lebih tinggi ke sisi lain. Setelah taraf mantap (steadystate) dicapai, kadar obat bentuk non-ion di kedua sisi membran akan sama.
Kebanyakan obat berupa elektrolit lemah yakni asam lemah atau basa lemah. Dalam larutan, elektrolit lemah ini akan terionisasi. Derajat ionisasi ini tergantung dari pKa rendah berarti relatif kuat, sedangkan untuk obat basa, pKa tinggi yang relatif kuat. Bentuk non-ion umumnya larut baik dalam lemak sehingga mudah berdifusi melintasi membran karena sukar larut dalam lemak. Pada taraf mantap, kadar obat bentuk non-ion saja yang sama bentuk ionnya tergantung dari perbedaan pH di kedua sisi membran.
Membran sel merupakan membran semipermiabel, artinya hanya dapat dirembesi air dan molekul-molekul kecil. Air berdifusi atau mengalir melalui kanal hidrofilik pada membran akibat perbedaan takanan hidrostatik maupun tekanan osmotik. Bersama aliran air akan terbawa zat-zat terlarut bukan ion yang berat molekulnya kurang dari 100-200 misalnya urea, etanol, dan antipirin. Meskipun berat atomnya kecil, ion anorganik ukurannya membesar karena mengikat air sehingga tidak dapat melewati kanal hidrofilik bersama air. Kini telah ditemukan kanal selektif untuk ion-ion Na, K, Ca.
Transport obat melintasi endotel kapiler terutama melalui celah-celah antarsel, kecuali di susunan saraf pusat (SSP). Celah antarsel endotel kapiler demikian besarnya sehingga dapat meloloskan semua molekul yang berat molekulnya kurang dari 69.000 (BM albumin), yaitu semua obat bebas, termasuk yang tidak larut dalam lemak dan bentuk ion sekalipun. Proses ini berperan dalam absorpsi obat setalah pemberian parenteral dan dalam filtrasi lewat membran glomerulus di ginjal.
Pinositosis ialah cara transport dengan membentuk vesikal, misalnya untuk makromolekul seperti protein. Jumlah obat yang diangkut dengan cara ini sangat sedikit.
Transport obat secara aktif biasanya terjadi pada sel saraf, hati, dan tubuli ginjal. Proses ini membutuhkan energi yang diperoleh daria aktivitas membran sendiri, sehingga zat dapat bergerak melawan perbedaan kadar atau potensial listrik. Selain dapat dihambat secara kompetitif, transport aktif ini bersifat selektif dan memperlihatkan kapasitas maksimal (dapat mengalami kejenuhan). Beberapa obat bekerja mempengaruhi transport aktif zat-zat endogen, dan transport aktif suatu obat dapat pula dipengaruhi oleh obat lain.
Difusi terfasilitasi (Facilitated diffusion) ialah suatu proses transport yang terjadi dengan bantuan suatu faktor pembawa (carrier) yang merupakan komponen membran sel tanpa menggunakan energi sehingga tidak dapat melawan perbedaan kadar maupun potensial listrik. Proses ini, yang juga bersifat selektif, terjadi pada zat endogen yang transportnya secara difusi biasa terlalu lambat, misalnya untuk masuknya glukosa ke dalam sel perifer.
Pemberian infus pada pasien diberikan apabila rehidrasi oral, tidak mungkin dilakukan pemberian infus tergantung pada usia, berat badan, dan keadaan klinis penderita (Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, 2007. Informasi Spesialite Obat (ISO) Indonesia, PT. Ikrar Mandiri Abadi, Jakarta).
Sampai saat ini masih banyak persepsi diantara para klinis terhadap terapi cairan, antara lain:
1. RL & mp; Normal saline yang sebenarnya merupakan cairan pengganti, digunakan juga untuk indikasi Maintenance secara luas.
2. Memberikan 2 L D5 / hari dianggap wajar-wajar saja. Banyak dokter yang tidak mengetahui bahwa D5 tersebut sebenarnya hanya air bebas dan bisa mengakibatkan atau memperberat hiponatremia.
3. Hipokalemia lebih mudah diatasi dibandingkan dicegah.
4. Semua cairan yang mengandung asam amino dan glukosa adalah produk nutrisi.
5. Pasien yang terlihat kurus dengan BMI (body mass index) rendah dianggap memerlukan tinggi kalori dan protein, padahal sebelum sakitpun sering pasien sudah berada dalam keadaan homeostasis dengan asupan rendah *BMI = BODY MASS INDEX (BB [KG] : TB [MEMBRAN]2 (NORMAL: 20-24)).
BAB III
ANALISIS MASALAH
A. INFUS KONTINYU DAN DOSIS BERULANG
Pada pemberian infus yang kontinyu atau dosis berulang, akan terjadi peningkatan kadar obat (akumulasi) sampai tercapai keadaan mantap (steady state), di mana kadar obat tidak lagi meningkat (stabil) karena kecepatan eliminasi obat oleh tubuh telah menyamai kecepatan masuknya obat ke dalam tubuh.
Kadar mantap atau kadar steady state (CSS) dicapai setelah 4-5 x waktu paruh obat.
tSS = 4 – 5 x t ½
t90%SS = 3.3 x t ½
INFUS KONTINYU. CSS dicapai ketika kecepatan eliminasi obat oleh tubuh (Cl) telah menyamai kecepatan masuknya obat ke dalam tubuh (kecepatan infus).
Dosis awal (Loading dose = DL) ialah dosis yang dimaksudkan untuk langsung mencapai CSS (CSS adalah kadar terapi = Cther)
DL = Css,max x Vd (IV)
Vd
= Css,max x (oral)
F
DOSIS BERULANG
(1) Intravena :
(2)
Oral :
DL biasanya diberikan untuk obat-obat yang t ½ nya relatif terlalu panjang dibandingkan dengan waktu yang diinginkan untuk mencapai kadar terapi, misalnya :
- tetrasikan (t ½ - 11 jam)
- digoksin (t ½ - 36 jam), tetapi digitalisasi biasanya dibagi dalam 3–4 dosis yang diberikan selama 1-2 hari.
- lidokain (t ½ - 1 jam) untuk aritmia setelah infark miokard.
Interval dosis (T). Dari segi farmakokinetik, T yang rasional untuk kebanyakan obat sama dengan t½ eliminasi obat yang bersangkutan, dengan demikian kadarnya berfluktuasi 2 x lipat (Css,max = 2 x Css,min).Obat dengan t½ yang pendek dapat diberikan dengan T beberapa kali t½ nya bila obatnya cukup aman untuk diberikan dalam dosis yang jauh lebih besar dari yang dibutuhkan untuk menimbulkan efek terapinya (misalnya penisilin G). Akan tetapi bila batas keamanannya sempit, mungkin obat tidak dapat diberikan dengan T lebih besar dari t½ nya karena kemungkinan fluktuasi kadarnya akan melampaui batas-batas kadar terapinya (misalnya teofilin). Obat dengan t½ yang lebih dari 1 hari, biasanya diberikan sekali sehari untuk memudahkan pemberiannya (misalnya fenobarbital, digoksin). Difenilhidantoin yang mempunyai t½ - 1 hari sebenarnya tidak perlu diberikan 3 x sehari tapi cukup 1 x sehari. Tetapi pemberian dalam dosis terbagi mungkin dimaksudkan untuk mengurangi iritasi lambung.
B. RINGER LAKTAT
Larutan Infus Untuk Pemakaian Intravena.
Setiap liter larutan mengandung :
- Natrium Laktat. C3H5NaO3 3,10 g
- Natrium Klorida. NaCl 6,00 g
- Kalium Klorida.KCl 0,30 g
- Kalsium Klorida.CaCl2.2H2O 0,20 g
- Air untuk Injeksi ad. 1.000 ml
Osmolaritas : 270 mOsm/l
Setara dengan ion-ion :
Na+ : 130 mEq/l
K+ : 4 mEq/l
Laktat (HCO3-) : 27,5 mEq/l
Ca++ : 2,7 mEq/l
Cl : 109,5 mEq/l
Cara kerja obat :
- Merupakan larutan isotoni Natrium Klorida, Kalium Klorida, Kalsium Klorida, dan Natrium Laktat yang komposisinya mirip dengan cairan ekstraseluler.
- Merupakan cairan pengganti pada kasus-kasus kehilangan cairan ekstraselular.
- Merupakan larutan non-koloid, mengandung ion-ion yang terdistribusi kedalam cairan intravaskuler dan interststel (ekstravaskuler)
Indikasi : Untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit pada dehidrasi.
Cara pemberian : Intravena
Disesuaikan dengan kondisi penderita
Kontra indikasi : Hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati,
asidosis laktat.
Efek samping :
- Reaksi-reaksi yang mungkin terjadi karena larutannya atau cara pemberiannya termasuk timbulnya panas, infeksi pada tempat penyuntikan, trombosis vena atau flebitis yang meluas dari tempat penyuntikan, ekstravasasi.
- Bila terjadi rekasi efek samping, pemakaian harus dihentikan dan lakukan evaluasi terhadap penderita.
Peringatan : Jangan dicampur dengan larutan yang mengandung fosfat.
Cara penyimpanan: Pada suhu kamar / ruangan antara 25oC – 30oC.
a. Kalsium
Kalsium merupakan mineral yang paling banyak didapatkan di dalam tubuh, untuk absorpsinya diperlukan vitamin D. Kebutuhan kalsium meningkat pada masa pertumbuhan, selama laktasi dan pada wanita pascamenopause. Bayi yang mendapat susu buatan memerlukan tambahan kalsium. Selain itu asupan kalsium juga perlu ditingkatkan bila makanan banyak mengandung protein dan atau fospor. Banyak peneliti yang menganjurkan asupan sekitar 1,2 g/hari untuk pasien alkoholik, sindrom malabsorpsi dan pasien-pasien yang mendapat kortikosteroid, isoniazid, tetrasiklin atau antasid yang mengandung aluminium.
b. Kalium
Perbedaan kadar kalium (kation utama dalam cairan intrasel) dan natrium (kation utama dalam cairan ekstrasel) mengatur kepekaan sel, konduksi impuls saraf dan keseimbangan dan volume cairan tubuh.
Meskipun defisiensi jarang terjadi pada individu yang mendapat makanan yang cukup, hipokalemia dapat terjadi pada anak-anak yang makanannya tidak mengandung protein. Penyebab hipokalemia yang paling sering adalah terapi diuretik terutama tiazid. Lain penyebab hipokalemia adalah diare berkepanjangan terutama pada anak, hiperal dosteronisme, tetapi cairan parenteral yang tidak tepat atau tidak mencukupi, penggunaan kortikosteroid atau laksan jangka lama. Aritmia jantung dan gangguan neuromuskular merupakan akibat hipokalemia yang paling berbahaya.
Hiperkalemia paling sering disebabkan gangguan ekskresi kalium oleh ginjal yang dapat terjadi pada pasien dengan insufisiensi korteks adrenal, gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik terminal, suplementasi vitamin K yang tidak sesuai dosis atau indikasinya, atau penggunaan antagonis aldosteron. Aritmia jantung dan gangguan konduksi merupakan gejala sisa yang paling berbahaya. Lain manifestasi hiperkalemia termasuk kelemahan dan parestesia.
c. Natrium
Natrium penting untuk membantu mempertahankan volume dan keseimbangan cairan tubuh. kadarnya dalam cairan tubuh diatur oleh mekanismer homeostatik. Banyak individu mengkonsumsi natrium lebih dari yang dibutuhkan. Pembatasan natrium seringkali dianjurkan pada pasien gagal jantung kongesif, sirosis hati dan hipertensi pada individu tertentu. Akan tetapi pembatasan natrium pada wanita sehat selama kehamilan tidak dianjurkan.
Hipernatremia jarang ditemui pada individu sehat tetapi pada terjadi setelah diare atau muntah yang lama terutama pada bayi, pada gangguan ginjal, fibrosiskistik atau insufisiensi korteks adrenal, atau pada penggunaan diuretik tlazid. Keringat yang berlebihan dapat mengakibatkan kehilangan natrium yang banyak dan perlu diganti dalam bentuk air dan NaCl.
d. Klorida
Klorida merupakan anion yang paling penting dalam mempertahankan keseimbangan elektrolit. Alkalosis metabolik hipokloremik dapat terjadi setelah muntah yang lama atau penggunaan diuretik berlebihan. Kehilangan klorida berlebihan dapat menyertai kehilangan berlebihan natrium. Kemungkinan terjadinya hiperkalemia perlu dipertimbangkan bila terpaksa menggunakan KCl sebagai pengganti klorida yang hilang.
C. RINGER ASETAT (ASERING)
Mencegah hipotermia Perioperatif Sectio
Larutan Ringer Asetat (RA) merupakan salah satu cairan kristaloid yang cukup banyak diteliti. Larutan RA berbeda dari RL (Ringer Laktat), dimana laktat terutama dimetabolisme di hati sementara asetat dimetabolisme terutama di otot. Sebagai cairan kristaloid isotonik yang memiliki komposisi elektrolit mirip dengan plasma, RA dan RL efektif sebagai terapi resusitasi pasien dengan dehidrasi berat dan syok, terlebih pada kondisi yang disertai asidosis. Metabolisme asetat juga didapatkan lebih cepat 3-4 kali dibanding laktat. Dengan profil seperti ini, RA memiliki manfaat-manfaat telah tersedia pada dehidrasi dengan kehilangan bikarbonat masif yang terjadi pada diare.
Ringer Asetat telah tersedia luas di berbahai negara. Cairan ini terutama diindikasikan sebagai pengganti kehilangan cairan akut (resusitasi), misalnya pada diare, DBD, luka bakar/syok hemoragik; pengganti cairan selama prosedur operasi, loading cairan saat induksi anastesi regional; priming solution pada tindakan pintas kardiopulmonal; dan juga diindikasikan pada stroke akut dengan komplikasi dehidrasi.
Manfaat pemberian loading cairan pada saat induksi anastesi, misalnya ditunjukkan oleh studi Ewaldsson dan Hahn (2001) yang menganalisis efek pemberian 350 ml RA secara cepat (dalam waktu 2 menit) setelah induksi anestesi umum dan spinal terhadap parameter-parameter volume kinetik. Studi ini memperlihatkan pemberian RA dapat mencegah hipotensi arteri yang disebabkan hipovolemia sentral yang umum terjadi setelah anestesi umum/spinal.
Untuk kasus obstetrik, Onizuka dkk (1999) mencoba membandingkan efek pemberian infus cepat RL dengan RA terhadap metabolisme maternal dan fetal, serta keseimbangan asam basa pada 20 pasien yang menjalani kombinasi anestesi spinal dan epidural sebelum seksio sesarea. Studi ini memperlihatkan pemberian RA lebih baik dibanding RL untuk ke-3 parameter diatas, karena dapat memperbaiki asidosis laktat neonatus (kondisi yang umum terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang mengalami eklampsia atau pre-eklampsia).
Dehidrasi dan gangguan hemodinamik dapat terjadi pada stroke eskemik/hemoragik akut, sehingga umumnya para dokter spesialis saraf menghindari penggunaan cairan hipotonik karena kekhawatiran akan edema otak. Namun, Hahn dan Drobin (2003) memperlihatkan pemberian RA tidak mendorong terjadinya pembengkakan sel, karena itu dapat diberikan pada stroke akut, terutama bila ada dugaan edema otak.
Pada 17 Pebruari 2006 diselenggarakan simposium mengenai RA ini yang merupakan bagian dari The 3rd Annual Meeting of Indonesia Society of Obstetic Anesthesia – Indonesian Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine in Conjunction with Recent Advances in Anesthesia Symposium di Grand Melia Hotel, Jakarta.
Dr. Susilo Chandra SpAn dari Departemen Anastesi dan Terapi Intensif FKUI/RSCM memaparkan hasil studi komparatif penggunaan RA (ASERING) dan RL pada pasien sectio cesarean dengan Subarachnoid Anasthesia.
Sebanyak 40 wanita dialokasikan menjadi dua kelompok, yakni kelompok yang menerima RA dan kelompok RL. Sebelum induksi, masing-masing kelompok mendapat 3 ml/kg/jam. Segera setelah induksi anestesi subarachnoid, diberikan cairan yang sama sesuai kelompoknya namun dengan kecepatan bolus 500 ml dalam 30 menit. Tanda-tanda vital, suhu timpani, suhu aksila dan pengobatan yang diberikan dicatat, baik pada baseline maupun setiap 5 menit sesudahnya.
Dari data penelitian didapatkan bahwa parameter hemodinamik pada intra dan postoperative tidak berbeda bermakna. Ini sekaligus membuktikan bahwa kristaloid cukup efektif untuk mengatasi hipotensi akibat induksi anestesi regional dan tidak satupun pasien sampai memerlukan cairan koloid yang harganya >20 kali lebih tinggi daripada kristaloid.
Hasil studi juga memperlihatkan RA dapat mempertahankan suhu tubuh lebih baik dibanding RL secara signifikan pada menit ke 5, 50, 55, dan 65, tanpa menimbulkan perbedaan yang signifikan pada parameter-parameter hemodinamik (antara lain denyut jantung dan tekanan darah sistolik/diastolik) diantara 2 kelompok.
Untuk insiden dan derajat menggigil, kelompok RA juga diperlihatkan mengalami insiden menggigil yang lebih sedikit dibandingkan kelompok RL sampai dengan menit ke 25 (p<0,05), p="0,029).
D. PARADIGMA BARU DALAM TERAPI CAIRAN MAINTENANCE
Terapi cairan Maintenance bisa dianggap sebagai salah satu terapi pendukung yang penting bagi pasien rawat-inap. Jika tujuan terapi cairan resusitasi adalah memperbaiki gangguan hemodinamik, maka tujuan terapi cairan Maintenance adalah memelihara homeostasis pada pasien yang kurang asupan cairan per oral. Jadi, laju dan jenis cairan infus untuk kedua indikasi itu berbeda. Untuk resusitasi digunakan “cairan pengganti” seperti normal saline, ringer asetat/ringer laktat yang bersifat isotonik. Diberikan dengan jumlah besar dan kecepatan tinggi (20-30 ml/kg/jam) cairan ini digunakan pada keadaan emergensi untuk menggantikan kehilangan akut. Pada keadaan-keadaan tertentu, cairan pengganti bisa juga digunakan untuk Maintenance, khususnya jika didapatkan hiponatremia (kadar Na+ <>+ per L. Produk-produk siap pakai juga sudah lama dikenalkan yakni larutan-larutan KEN dan larutan DGAA (larutan setengah Darrow). Larutan KAEN dan DGAA memiliki kandungan kalium yang cukup untuk memelihara kebutuhan homeostasis kalium. Sebagai contoh KEN 3B (20mEq/L) dan DGAA (17.5 mEq/L) memenuhi minimum 20-30 mEq/hari untuk pasien dewasa.
Belum lama ini dengan dikembangkannya teknik canggih dual chamber oleh Otsuka Japan cairan Maintenance telah berevolusi dari sekedar mengandung elektrolit basal (Na+ dan K+ dll) juga dilengkapi dengan mikromineral, asam amino dan glukosa.
1. Rasional Untuk Terapi Cairan Maintenance
Berbagai keadaan bisa dialami oleh pasien rawat-inap dan ini sering tidak disadari oleh dokter.
· Mayoritas pasien sudah berada dalam keadaan dehidrasi moderat, namun hemodinamik masih baik. Pasien mungkin sudah berhari-hari di rumah dengan asupan air yang kurang dan ada demam tinggi. Demam tinggi ini menyebabkan peningkatan insensible water loss.
· Cemas, depresi atau akut. Ini cenderung terjadi pada pasien-pasien yang sudah mencoba berobat ke sana kemari dan tidak kunjung sembuh.
· Malaise atau letih (fatigue) mungkin merupakan alasan pasien dibawa ke rumah sakit.
· Pasien tidak terbiasa dengan makanan rumah sakit.
· Asupan oral kurang karena pasien teralu lemah untuk mengunyah dan lidah terasa pahit karena kering.
· Jam makan yang kaku
· Anorexia (tidak napsu makan), nausea (mual), atau stres
· Kesadaran menurun.
Informasi demikian sering luput dari pengamatan dokter, padahal pasien memerlukan dukungan maintenance untuk keadaan-keadaan tersebut.
Tujuan terapi Maintenance bisa dirangkum sebagai berikut:
1) Memenuhi kebutuhan air dan elektrolit harian untuk homeostasis.
2) Mencegah gangguan elektrolit dan asam-basa.
3) Mendukung terapi primer
4) Membantu proses enzimatik & mp; sintesis protein.
5) Memacu penyembuhan.
Apa ciri-ciri larutan maintenance yang unggul ?
· Praktis, mudah dan aman diberikan
· Disamping elektrolit basal (Na+, K+, Cl-) juga mengandung mikromineral (Mg++, Ca++, P) yang dibutuhkan untuk metabolisme sel.
· Adanya zinc membantu penyembuhan jaringan. Karena zinc memacu deposisi kolagen pada jaringan yang rusak.
· Mengandung asam amino kualitas tinggi (diperkaya BCAA, tinggi EAA) untuk memacu sintesis protein)
· Glukosa untuk mempertahankan kadar gula normal (euglycemia)
Produk yang bisa memenuhi kriteria tersebut adalah AMINOFLUID”. Komposisi AMINOFLUID dan larutan Maintenance lain (KAEN3B) serta Ringer Laktat diberikan dibawah:
Tabel 1. Komposisi AMINOFLUID dibandingkan RL dan KAEN3B
Komposisi | AMINOFLUID | KAEN3B | Ringer Laktat | ASPEN guideline” |
Air | 2000 | 2000 | 2000 | 30-40 ml/kg/hari |
Na+ | 70 | 100 | 260 | 1-2 mEq/kg/hari |
K+ | 40 | 40 | 8 | 1-2 mEq/kg*/hari |
Cl- | 70 | 100 | 218 | Sesuai kebutuhan |
Mg++ | 10 | - | - | 8-20 mEq/hari |
Ca++ | 10 | - | - | 10-15 mEq/hari |
P | 20 | - | - | 20-40 mEq/hari |
Zn | 10 m mol | - | - | 2.5-5 g |
Asam amino | AA 60 g | - | - | 0.8 g/kg/hari |
Glukosa | 150 g | 54 g | - | - |
Kebutuhan basal untuk homeostasis K+ adalah 20-30 mEq/hari (10); f kebutuhan basal asam amino pada pasien nonstressed; V protein sparing effect.
2. Mengapa Perlu Mikromineral ?
Disamping elektrolit basal, seperti natrium, kalium, klor, larutan maintenance masa kini harus mengandung mikromineral yang dibutuhkan untuk proses metabolisme. Peran dan dosis anjuran diberikan pada tabel 2.
Tabel 2. Fungsi dan Dosis anjuran air dan elektrolit.
| Fungsi | ASPEN | AMINOFLUID | ||
Air(ml) | Komponen sel dan kompartemen cairan tubuh lain, pengaturan suhu, pelarut, pelumas | 30-40ml/kg | 2000 | ||
Na+(mEq) | Bersama klorida mempertahankan volume dan osmolaritas darah, mengatur muatan listrik di neuromuscular junction dan mempengaruhi asam-basa | 1-2mEq/kg | 70 | ||
K+(mEq) | Kepekaan neuromuskular (Neuromusculer excitability), sintesis protein dan kolagen, proses enzimatik dalam produksi energi sel. Bersama natrium dan kalsium memelihara irama jantung. Bagian dari sistem dapat tubuh untuk mengatur asam-basa. | 1-2mEq/kg | 40 | ||
Cl-(mEq) | Bersama natrium memelihara osmolaritas cairan ekstrasel,(ECF). Memelihara imbang sairan. Memelihara asam-basa. Pertukaran oksigen dan CO2 di sel darah merah, komponen getah lambung. | Sesuai kebutuhan untuk memelihara asam-basa | 70 | ||
Mg++(mEq) | Sangat penting untuk sistem enzim, aktivitas neuromuskuler, esensial untuk metabolisme ATP, Na+,K+, pump. Sekresi hormon paratroid dan fungsi jantung. | 8-20 | 10 | ||
Ca++(mEq) | Pertumbuhan gigi dan tulang, fungsi neuromuskular, pembekuan darah, asam-basa dan aktivasi enzim tertentu. | 10-15 | 10 | ||
P(mmol) | Esensial untuk metabolisme nutrien Ko-faktor dalam berbagai sistem enzim, komponen ATP | 20-40 | 20 | ||
Zinc merupakan trace element yang dikandung dalam AMINOFLUID | |||||
| Fungsi | Eksresi urin | AMINOFLUID | ||
Zinc | Memacu penyembuhan jaringan Zinc perlu untuk pembentukan kolagen, yang merupakan bahan penting untuk penyembuhan dan perbaikan jaringan. Zinc juga memiliki aktivitas imunitas seluler. Dibutuhkan untuk metabolisme nutrien dan sintesis asam nukleat (DNA and RNA) | 7,6 micromol/hari | 10 micromol/L | ||
|
|
|
|
|
|
Mengapa dalam larutan Maintenance ada BCAA (Branch-Chained Amino Acids) ? Leucine, isoleucine dan valine merupakan asam amino rantai cabang dan merupakan asam amino yang terbanyak diteliti, dan dibuktikan memiliki efek farmakologis (4,5,6,7,8):
1) Prekursor (zat pendahulu) dalam sintesis glutamine dan alanine pada otot rangka
2) Pada banyak penyakit konsumsi BCAA meningkat
3) Leucine paling jelas efeknya dan berguna untuk sintesis protein. Ini telah diteliti pada sepsis dan luka bakar
4) BCAA meningkatkan nafsu makan dengan menghambat masuknya triptofan (prekursor serotonin) ke dalam susunan saraf pusat. Dengan berkurangnya kadar serotonin, maka perangsangan sistem melanokortin akan berkurang di hipotalamus. Ini diikuyi dengan peningkatan napsu maka (diperlihatkan pada gambar C dibawah)
5) Pada sepsis rasio BCAA (branched chain amino acids): AAA (aromatic amino acids) akan menurun
6) Pasien yang selamat dari sepsis ternyata memiliki kandungan BCAA lebih tinggi daripada yang meninggal
7) BCAA memacu aliran darah ke otak.
Gambar A. Ada dua sistem di hipotalamus Melanocortin (Pro-opiomelanocortin) merupakan sistem saraf serotoninergik. Jika melanocortin dirangsang maka akan terjadi anorexia (tidak napsu makan). Kebalikannya, NPY bersifat prophagic, artinya jika dirangsang maka napsu makan akan meningkat. Interaksi kedua sistem inilah yang mengatur imbang asupan dan pemakaian energi.
Gambar B. pada banyak penyakit sistemik, sitokin akan diproduksi oleh sel darah putih, dan ini akan merangsang pembentukan serotonin dan merangsang melanocortin. Efek perangsangan ini adalah anoreksia. Serotonin berasal dari triptofan. Triptofan masuk ke dalam sistem saraf pusat melalui saluran yang sama dengan BCAA. Jadi triptofan bersaing dengan BCAA. Ada bukti bahwa peningkatan triptofan di otak akan menyebabkan rasa letih central fatigue).
Gambar C. pemberian BCAA (leucine, isoleucine, bvaline) akan memblok masuknya triptofan, disusul dengan penurunan serotonin. Kemudian nbnapsu makan akan meningkat.
3. Bagaimana Larutan Maintenance Berbeda Dengan Nutrisi Parenteral ?
Walaupun tidak ada definisi yang tegas di dalam kepustakaan, berdasarkan kepentingand ari konstituen larutan infus, kita bisa mengkategorikan suatu produk sebagai larutan maintenance, jika komponen air dan elektrolit (dalam konsentrasi moderat) sebagai unsur dominan sedangkan kandungan asam amino dan glukosa menyediakan sekedar kebutuhan basal untuk homeostasis dan bukan untuk replesi protein dan energi. Sebaliknya kandungan yang menjadi prioritas dari nutrisi parenteral adalah kandungan asam amino atau NPC (nonprotein calories baik sebagai karbohidrat atau lipid).
4. Cara Memberikan Larutan Maintenance
Tempat kanula; larutan yang mengandung osmolaritas kurang dari 900 mOsm/L bisa diberikan melalui vena tepi. Namun sebaiknya dipilih vena yang lebih proksimal (basilica, cephatic atau median cubital) karena tingginya insiden flebitis jika digunakan vena punggung tangan. Pasien usia lanjut lebih rentan terhadap flebitis dibandingkan dewasa muda.
Laju pemberian umumnya 20 tetes per menit (drip makro). Namun perlu diperhatikan kandungan glukosa dan kalium dari setiap larutan infus. Pada dewasa laju maksimum pemberian glukosa adalah 4 g/kg/minute , dan kalium 10 mEq per jam. Walaupun anjuran asupan kalium harian adalah 1-2 mEq/kg, dosis maintenance minimum dewasa untuk homeostasis bisa dipenuhi dengan 20-30 mEq hari.
Obat suntik tidak boleh dioplos ke dalam AMINOFLUID karena bisa meningkatkan osmolaritas dan mengganggu kestabilan komposisi. Bila dianggap perlu, obat suntik bisa diberikan dengan piggy bag (untuk drip kontinyu) atau via stop cork (jika bolus) sementara aliran infus primer dihentikan.
5. Cara Menilai Manfaat Terapi Suportif
Keberhasilan dan kegagalan terapi tidak bisa dilakukan oleh suatu terapi tunggal, tetapi pendukung sifatnya adalah membantu terapi primer. Untuk mengevaluasi manfaat terapi secara holistil, bisa digunakan sistem skoring untuk gejala-gejala subyektif yaitu skor fatigue, napsu makan dan aktivitas sehari-hari.
6. Monitoring dan Komplikasi Potential
Monitoring adalah hal terpenting dala terapi cairan MAINTENANCE. Bila tersedia fasilitas lab, idealnya diperiksa panel elektrolit dan metabolik (Na+, K+, Cl-, HCO3-, BUN, glukosa, creatinine), sebelum memberikan cairan. Pada kasus yang cukup serius atau berat paling tidak harus diperiksa Na+ dan K+. Tidak sesuai untuk memberikan cairan natrium rendah (hipotonik) ke pasien dengan hiponatremia. Di lain pihak, tidak tepat jika cairan dengan natrium tinggi (misal NS) diberikan kepada pasien dengan hipernatremia. Bilamana perlu, larutan Maintenance bisa digabung dengan larutan pengganti (Asering, RL, Normal saline) atau produk nutrisi parenteral.
Hipokalemia banyak dijumpai pada pasien rawat-inap dan bisa dicegah. Pentingnya kalium terungkap dari laporan tentang prevalensi hipokalemia di eberapa rumah sakit, dimana pasien-pasien hanya diberikan larutan pengganti selama perawatan. Larutan pengganti mengandung 4 mEq/L of K+ (Ringer Lactate) or 0 mEq of K+ (normal saline) Hiperkalemia bisa diinduksi dan atau diperberat jika larutan yang mengandung kalium diberikan kepada pasien oliguria (vol urine <>
E. PATOFISIOLOGI
Kelainan utama pada DBD ialah (1) bertambahnya permeabilitas vaskuler yang menyebabkan terjadinya kebocoran plasma dan terjadinya hipovolemi intravaskuler, (2) gangguan hemostasis (angiopati, trombositopeni dan koagulopati). Pemulihan volume cairan intravaskuler secara dini dan adekuat Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID). Secara teoritis tahapan perubahan pada permeabilitas dinding vaskuler dan pengaruhnya terhadap perbedaan tekanan onkotik cairan intravaskuler dan ekstravaskuler secara sederhana terlihat pada gambar Skematis kebocoran plasma pada DBD.
Pada saat terjadi kebocoran plasma, albumin, air dan elektrolit keluar dari kompartemen intravaskuler kedalam kompartemen ektravaskuler (B). Dengan adanya protein dalam kompartemen ektravaskuler tekanan osmotik cairan ekstravaskuler meningkat dan perbedaan (gradien) tekanan osmotik infra dan ektra vaskuler menurun dengan akibat penarikan masuk air dan elektrolit pada sisi kapiler venus menurun.
Gambar Skematis kebocoran plasma pada DBD
Berkurangnya cairan yang masuk kembali ke kompartemen intravaskuler menyebabkan terjadinya hipovolemi intravaskuler, hemokonsentrasi, viskositas darah meningkat, aliran darah menurun, perfusi jaringan berkurang dan mungkin terjadi renjatan dengan komplikasi yang berat yaitu KID yang dapat menyebabkan intravaskuler menyebabkan terkumpulnya cairan di kompartemen ektravaskuler yang dapat bermanifestasi sebagai cairan pleura, ascites dan cairan pada dinding organ di perut.
Pada fase penyembuhan permeabilitas dinding vaskuler membaik, kebocoran plasma berhenti, akan tetapi sebagian albumin/protein masih ada dikompartemen ekstravaskuler dan perbedaan tekanan infra dan ekstravaskuler belum kembali normal sehingga masih mungkin terjadi balans negatif antara cairan yang keluar dan yang masuk kembali kedalam kompartemen intravaskuler (D). Pada saat semua sisa protein/albumin ekstravaskuler telah dimetabolisma maka perbedaan tekanan osmotik infra dan ekstra vaskuler menjadi normal kembali (E) cairan ekstravaskuler (efusi pleura, ascites dll) diresorpsi kembali dan menghilang.
F. PENATALAKSANAAN
Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan memperbaiki sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID).
Selama 3 dekade telah dilakukan penilaian ulang dan pembaikan pengelolaan DBD di Bagian Ilmu kesehatan Anak RS Sumber Waras, dan upaya ini diikuti dengan penurunan angka kematian, walaupun demikian harus diingat berbagai faktor lain yang mungkin berpengaruh terhadap mortalitas DBD secara umum.
Larutan Kristaloid
Cairan yang dapat diberikan pada penderita DBD menurut WHO ialah cairan Dextrose 5% - Saline fisiologik (aa), pada DSS dapat diberikan larutan Ringer Laktat (RL), dextrose 5% - saline fisiologik, dektrose 5%-0,5 saline (D5-0,5S), dextrose 5%-0,5 RL atau dextrose 5%-1/3 saline. Terapi standar yang diberikan pada penderita DBD di RS Sumber Waras sejak tahun 1968 ialah larutan dextrosa 5%-0,5 saline. Pemilihan larutan ini dalam terapi DBD ialah dengan pertimbangan pada DBD perbedaan tekanan osmotik infra dan ekstra vaskuler menurun sehingga bila diberikan larutan isotonik atau hipotonik dapat memperberat terjadinya cairan ekstravaskuler (efusi pleura).
Dalam keadaan normal pada kapiler arterial terdapat perbedaan antara tekanan hidrostatik (35 mmHg) yang mendorong air keluar pembuluh darah dengan tekanan osmotik cairan (25 mmHg) yang menahan air keluar vaskuler. Di lain pihak pada kapiler venous perbedaan terjadi karena menurunnya tekanan hidrostatik (15 mmHg) sedangkan tekanan osmotik tetap (25 mmHg). Dengan demikian jumlah cairan yang keluar dari kapiler arterial sama dengan cairan yang masuk ke kompartemen intravaskuler di daerah kapiler venous.
Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan menyebabkan penambahan volume vaskuler hanya dalam waktu yang singkat karena larutan tersebut akan segera didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskuler) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskuler dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial. Pada DBD dimana terjadi kebocoran plasma mungkin lebih banyak larutan RL yang masuk ke ruang interstisial karena menurunnya perbedaan tekanan osmotik infra dan ekstra vaskuler. Secara teoritis pemberian larutan Dextrose 5%-0,5 saline yang bersifat hipersomatik mungkin dapat mengurangi redistribtisi larutan ke ruang interstisial dan dengan demikian efek ekspansi vaskuler lebih lama dari RL.
Larutan Koloid
Dalam upaya menurunkan kematian DSS dirasakan perlunya pemberian larutan yang dapat dengan segera memperbaiki volume intravaskuler dan aliran darah, tanpa memperberat risiko bertambahnya efusi pleura.
Untuk mengatasi renjatan selain pemberian cairan kristaloid dipikirkan juga pemberian cairan koloid yang bertahan lebih lama dalam sirkulasi dan mudah dimetabolisme bila terjadi ekstravasasi ke dalam jaringan. Sejak tahun 1988 dalam protokol penatalaksanaan DSS di RS Sumber Waras dipergunakan larutan koloid 6% hexaethyl starch (HES) 40/0,5. Mengingat kelainan utama pada DBD/ DSS adalah bertambahnya permeabilitas kapiler yang menyebabkan kebocoran plasma, maka dalam pemilihan larutan koloid dipertimbangkan sifat sebagai berikut :
1) Oleh karena pada DBD terjadi kebocoran plasma, dipilih larutan koloid golongan karbohidrat (dextran atau HES), dengan pertimbangan bila keluar dari ruangan intravaskuler ke kompartemen interstisial dapat dimetabolisme dengan tuntas menjadi H2O dan CO2.
2) Manfaat ekspansi/pengembangan volume vaskuler.
Berdasarkan pengamatan Himalgyi efek pemberian koloid terhadap volume vaskuler dapat dibagi dalam 3 kelompok yaitu :
a) Ekspander fase dini (early phase volume expander)
Pada golongan ini efek dini terhadap ekspansi volume koloid yang diberikan akan tetapi segera setelah infus dihentikan menurun kembali dan dapat menimbulkan hipovolemi lagi oleh karena sebenarnya jumlah koloid yang diberikan kurang dari kebutuhan. Termasuk dalam golongan ini ialah larutan koloid hiperonkotik antara lain 10% dextran 40,6% HES 200/0,5 dan 10% HES 200/0,5.
b) Ekspander fase lambat (late phase volume expander)
Larutan koloid golongan ini pada awalnya tidak bersifat hiperonkotik. Pada fase awal manfaat ekspansi 80% dari jumlah koloid yang diberikan, sehinggaa larutan koloid yang diberikan melebihi jumlah defisit. Pada fase selanjutnya terjadi pemecahan HES molekul besar oleh amilase darah menjadi HES molekul kecil yang masih bersifat koloid sehingga efek lambat dari koloid ini ialah larutan bersifat hiperonkotik, cairan ekstraseluler masuk kedalam lumen intravaskuler, dengan daya ekspansi sebesar 190% dari jumlah/volume yang diberikan dengan risiko dapat terjadi oedem paru. Termasuk dalam kelompok ini ialah 6% HES 450/0,7.
c) Volume replacement solution
Larutan koloid 6% dextran 60,5% dextran 40 dan 6% HES 40/0,5 bersifat isoonkotik, efek terhadap ekspansi volume intravaskuler berjumlah 100% dari jumlah koloid yang diberikan.
1) Metabolisme dan lamanya tissue persistance bila larutan koloid keluar dari pembuluh darah.
Hal ini penting untuk dipertimbangkan oleh karena pada DBD/DSS terjadi kebocoran plasma sehingga secara teoritis koloid dengan BM rendah mungkin ikut keluar dari pembuluh darah (ekstravasasi). Metabolisme dextran dan HES 40 sama yaitu ekskresi terutama melalui urin dan sebagian hasil melalui traktus gastrointestinalis. Sisanya diambil oleh hati, limpa dan ginjal dan pada organ ini dipecah secara tuntas menjadi H dan CO. Sebagian kecil koloid yang diinfuskan mengalami ekstravasasi dan menetap dalam jaringan. Makin banyak koloid yang mengalami ekstravasasi dan makin lambat metabolismenya makin besar kerusakan jaringan terutama pada kelenjar limfe, hati dan ginjal. Begitu pula makin besar BM koloid dan makin banyak ikatan hydroxyetilglycosid, makin banyak sisa koloid di jaringan. Fraksi residu dari 6% HES 40/0,7 berjumlah 37%, 10% HES 200/0,5 berjumlah 26%, 6% HES 200/0,5 berjumlah 28% dan 6% HES 40/0,5 berjumlah 2%.
2) Hipersensitivitas
Frekuensi reaksi alergik setelah pemberian dextran berkisar antara 0.002%-4,6% pada pemberian HES berkisar antara 0,08%-2,6%. Cardia Respiratory arrest hanya timbul pada pemberian deztran terutama dextran 60 dan HES 450, renjatan pada pemberian HES 200 sedangkan reaksi alergi pada pemberian HES 40 bersifat ringan sampai sedang.
3) Efek Rheologik dari larutan koloid yang bermanfaat dalam pencegahan terjadinya komplikasi lebih lanjut dari DSS.
Efek rheologik meliputi :
1. Penurunan viskositas darah
2. Penurunan viskositas plasma darah
3. Efek dis-agregasi terhadap eritrosit
4. Memperbaiki fleksibilitas eritrosit
5. Efek dis-agregasi terhadap trombosit
6. Sirkulasi mikro dan perfusi jaringan.
Dextran dan HES molekul besar menurunkan viskositas darah tapi tidak menurunkan viskositas plasma darah. 10% Dextran 40 menyebabkan kenaikan viskositas plasma darah dan mengurangi fleksibilitas eritrosit. Sedangkan 6% HES 40/0,5 memberikan semua efek rheologik di atas. Efek dis-agregasi eritrosit disebabkan karena dilusi dari aggregating protein (fibrinogen dan 2 makroglobulin) serta pada pemberian koloid muatan listrik positif pada dinding eritrosit bertambah sehingga sesuai dengan hukum fisika akan memberikan efek saling menolak/menjauh sehingga tidak mudah terjadi agregasi (rouleux formation). Keadaan tersebut terjadi pula pada trombosit sehingga agregasi trombosit dicegah sehingga kemungkinan terjadinya KID dikurangi. Pada pemberian cairan kristaloid muatan listrik positif berkurang sehingga terjadi tendensi untuk saling mendekat dan terjadi agregasi. Daya menurunkan agregasi trombosit HES 40 lebih baik dari Dextran.
Efek rheologik tersebut menyebabkan aliran darah lebih lancar, eritrosit lebih fleksibel sehingga mikrosirkulasi dan perfusi jaringan lebih baik dan dapat mencegah terjadinya asidosis metabolik.
Sifat 6% HES 40/0,5 secara teoritis dapat memperbaiki renjatan dengan risiko efusi pleura minimal serta efek rheologiknya dapat mencegah komplikasi lebih lanjut dari DSS termasuk KID dan perdarahan hebat.
Larutan Albumin
Larutan albumin 5% bersifat isoonkotik sedangkan larutan albumin 25% bersifat hiperonkotik dengan daya ekspansi volume tiap 1 g (4 ml) dapat menarik air dari ekstravaskuler sebanyak 18 ml. Pemberian albumin 25% secara bolus mungkin menaikkan tekanan onkotik plasma sehingga air dan elektrolit masuk ke pompartemen intravaskuler dengan demikian memperbaiki volume intravaskuler. Sifat dan manfaat larutan albumin sama dengan plasma darah
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa pengaruh berbagai faktor tersebut pada respons penderita terhadap obat pada umumnya menyebabkan regimen dosis obat perlu disesuaikan. Besarnya penyesuaian dosis biasanya tidak dapat diperhitungkan, jadi hanya dikira-kira saja berdasarkan educated guess, kecuali dalam hal penyesuaian terhadap berat badan dan penyesuaian akibat gangguan organ yang lain. Penyesuaian dosis hasil perhitungan tidak menjamin dosis yang tepat, karena disamping adanya asumsi-asumsi dalam melakukan perhitungan farmakokinetik sehingga kadar yang dicapai belum tentu dalam batas-batas kadar terapi, masih ada faktor-faktor farmakodinamik yang tidak diperhitungkan, yang dapat memberikan respons yang menyimpang meskipun kadar yang dicapai sudah benar. Tetapi penyesuaian dosis hasil perhitungan tentunya lebih mendekati dosis yang tepat dibandingkan dengan dosis hasil perkiraan saja.
Dengan demikian pengamatan dan pemantauan klinis yang ketat dan berkesinambungan merupakan tindakan yang mutlak harus dikerjakan dalam pengelolaan DBD dan penyakit yang lain. Ringer Asetat dan Ringer Laktat sangat efektif sebagai terapi resusitasi pasien dengan dehidrasi berat dan syok, terlebih kondisi asidosis.
B. SARAN
- Sebaiknya cara pemberian cairan infus disesuaikan dengan kondisi pasien
- Memberikan terapi suportif yang baik akan memacu penyembuhan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Daniel, 2008, Kolom (Paradigma Baru dalam Terapi Cairan Maintenance), Vol. 7, Jakarta.
Daniel, 2006, Gerai (Ringer Asetat “Asering(R)” Mencegah Hipotermia Perioperatif Sectio), Vol. 5, Jakarta.
.......... , 2000, Ringer Laktat (Lactate Ringer Injection USP), PT. Widatra Bhakti, Pandaan, Jawa Timur.
Staf Farmakologi FKUI, 2000, Farmakologi dan Terapi, Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Tatang Kustiman Samsi, 2000, Cermin Dunia Kedokteran (Artikel : Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue di RS Sumber Waras), Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara, Jakarta.
1 komentar:
ilmu yang mempelajari cara membuat, memformulasikan, menyimpan dan menyediakan obat --> farmasetika, bukan farmasi
Posting Komentar